04 December 2008

Antara Abu Nawas, Kuda dan Senyum

Suatu ketika Abu Nawas ingin melakukan sebuah perjalanan jauh. Untuk itu ia ingin membeli seekor kuda tangguh yang sekiranya dapat mengantar ia ke tujuannya. Maka pergilah ia menuju sebuah pasar ternak. Setelah melakukan beberapa test drive, tak lama kemudian ia mendapatkan seekor kuda jantan hitam yang dibelinya dengan harga mahal.

Dengan rasa bangga, ia pun menunggangi kuda tersebut menuju rumahnya, tak sabar ingin memperlihatkan ?kendaraan? baru kepada istrinya. Sesampainya dirumah, ia lalu melompat dari punggung kudanya dan berlari masuk kerumah seraya memanggil istrinya. Ia lupa mengikat kuda barunya.

?Istriku, aku telah membeli seekor kuda dari uang tabungan kita selama setahun, kuda itu larinya cepat sekali, maukah kau melihatnya? Dia ada di depan, aku bahkan telah memberinya nama, Aswad, karena dia berwarna hitam? ucap Abu Nawas dengan girang sambil menarik lengan istrinya menuju halaman depan rumah mereka.
Setibanya di depan halaman rumah, Abu Nawas tak menemukan Aswad di tempat ?parkirnya.?
?Mana kudanya?? tanya sang istri.
?Innalillahi wa inna ilaihi rojiun? ucap Abu Nawas dengan bibirnya yang pucat.
?Si Aswad raib? Ucapnya lagi.
Istri Abu Nawas baru saja ingin mengumpat ketika ia melihat Abu Nawas tersenyum-senyum sambil berucap syukur. Terheran-heran ia bertanya kepada suaminya ?Kenapa tersenyum? baru saja kita kehilangan seekor kuda bodoh yang kau beli dari uang hasil tabungan kita selama setahun?
?Aku bersyukur kepada-Nya atas kebijaksanaan-Nya yang menakdirkan bahwa aku tidak sedang menunggangi kuda itu, kalau tidak, sekarang aku tentu hilang juga.? Ucapnya sambil setengah tertawa. (Sebagian cerita disadur dari Humor-Humor Sufi karangan Massud Farzan, 1992)


Kita bisa saja menilai Abu Nawas sebagai laki-laki ceroboh dan bodoh, tapi di sisi lain, keikhlasan dan kearifannya patut kita teladani. Mengapa tidak, istirja?nya diikuti oleh syukur hanya berselang hitungan detik. Ia tak perlu merasa sedih berlarut-larut akibat musibah yang menimpanya karena ia dapat menemukan hikmah di balik musibah tersebut. ?Two thumbs up? kata orang-orang bule sana.

Seberapapun kapasitas keimanan kita, sudah selayaknyalah kita kembali merenungkan bahwa segala sesuatu yang kita miliki sebenarnya bukan milik kita, melainkan milik Sang Maha Kuasa yang ?dititip? kepada kita. Nothing that I have is trully mine kata Dido dalam lagunya Life For Rent. Hape, motor, mobil, jabatan, kesehatan, rumah, anak, istri, orang tua, bahkan nyawa sendiri suatu saat akan diambil Si Empunya. Kapanpun, dimanapun, entah hilang, dicuri, terbakar atau cara apapun yang digunakan oleh Sang Khalik untuk mengambilnya kembali.

Bersedih, menyesal, marah dan menyalahkan orang lain, adalah hal yang lazim bagi setiap orang ketika menghadapi sebuah musibah dan cobaan. Tapi pertanyaannya, apakah sikap tersebut dapat mengembalikan keadaan seperti semula? Atau malah semakin memperburuk keadaan?

Dari cerita Abu Nawas di atas, kita dapat mengambil sebuah pesan, bahwa dalam menghadapi sebuah musibah dan cobaan, bersabar dan menerima dengan ikhlas adalah cara yang tepat ketimbang bersedih dan menyesal. Tak ada alasan bagi orang beriman untuk bersedih (Al Imron:139), karna bukan tidak mungkin musibah itu membawa sebuah kemudahan, anugrah atau hikmah. Inna maal usri yusron.

Layaknya bianglala yang muncul setelah hujan lebat. Maka ketika badai datang, janganlah menunggu badai itu hingga reda, tapi tunggulah pelangi di sudut bumi, maka dingin takkan kau rasakan.

Dan ketika musibah menimpa, dapatkah kita tersenyum layaknya Abu Nawas?

No comments:

Post a Comment