16 January 2009

Pemikiran Nasrudin Yang sederhana

Suatu ketika, Nasrudin meminjam kuali kepada tetangganya. Besoknya, ia mengembalikan kuali itu, dengan ada tambahan kuali kecil di dalamnya. Lho, kata tetangga Nasrudin, kok ada kuali kecil? Kata Nasrudin, semalam kualinya beranak. Walau tetangganya menganggap Nasrudin sudah gila atau dungu, ia senang atas kuali tambahan itu. Ketika esoknya Nasrudin meminjam kembali kuali yang dulu ia pinjam, si tetangga meminjami dengan sukacita dan berharap kualinya “beranak” lagi. Sehari, dua hari, berhari-hari Nasrudin tak mengembalikan kuali itu. Akhirnya, si tetangga menagih. Oh, kata Nasrudin, kuali itu sudah meninggal. Tentu saja si tetangga marah besar. Mana ada kuali meninggal, kuali kan benda mati? Lho, kata Nasrudin, kemarin kamu percaya waktu saya bilang kualinya beranak?

Ada banyak cerita semacam ini yang dinisbatkan kepada tokoh Nasrudin Hoja. Rata-rata berkisah tentang anekdot perilaku Nasrudin yang pada mulanya atau secara sekilas kita anggap dungu. Tapi di balik kedunguan atau keluguan itu, tersirat sebuah pelajaran berpikir yang tajam Itulah mengapa menurut sahibul hikayat, Nasrudin jadi favorit Khalifah Harun Al-Rasyid.

Di Indonesia, kita mengenal kisah serupa –misalnya, kisah si Kebayan. Intinya, tokoh macam Nasrudin atau Kebayan menantang cara pikir “normal” dengan perilaku “bodoh”, dan pada akhirnya mengajak kita kembali ke akal sehat atau pikiran lebih rasional. Kesan “bodoh” timbul karena para tokoh nyentrik itu menyederhanakan sesuatu hal sehingga tampak aneh dan di luar kebiasaan.

Ternyata, dalam tradisi keilmuan, ada prinsip serupa: prinsip silet Ocham. Prinsip ini dianggap sangat tajam dalam menguji pemikiran-pemikiran nonrasional, sehingga disebut sebagai “silet”. Prinsip itu kurang lebih mengatakan: di tengah berbagai penjelasan rumit, penjelasan paling sederhana adalah yang paling masuk akal. Dengan prinsip ini, sains berusaha menghidupkan akal sehat dan bukan akal jelimet.

Prinsip ini tumbuh di Eropa, pada masa renaissance. Di hadapan banyaknya penjelasan takhyul yang jelimet, berputar-putar, sains memotong dengan silet Ocham ini. Misalnya, menjelaskan kekuasaan raja berasal dari mana? Dari Tuhan, kata raja. Bagaimana caranya? Apa Tuhan memberi wahyu? Mana buktinya? Apa Tuhan memberikan kekuasaan turun-temurun? Atas dasar apa Tuhan memilih seseorang jadi raja, dan bukan lainnya? Dan seterusnya. Jawaban-jawaban raja terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut pastilah jawaban-jawaban jelimet, dicari-cari. Utak-atik-gatuk, kata orang Jawa. Dicocok-cocokkan. Bukankah lebih sederhana bahwa kekuasaan seorang raja didapat karena kesepakatan sosial?

Tapi, berpikir sederhana juga sering disalahgunakan. Ketemu maling, bakar saja! Ketemu orang berpikiran beda, gebuk saja. Ketemu orang yang mengganggu, singkirkan saja. Berpikir sederhana berubah menjadi berpikir gampangan, cari-cari jalan pintas. Begitu juga dalam berbisnis. Misalnya, bisnis hiburan. Apa yang gampang menarik perhatian? Apa yang gampang dijual? Seks. Ya, sudah, jual saja seks. Kalau perlu, jual saja pornografi. Tak usah pikir-pikir soal akibatnya pada anak-anak, atau masa depan bangsa. Nah, pikiran-pikiran kayak begini adalah sederhana juga, tapi bersifat menyalahgunakan. Ini berbahaya.

Jadi, apa sih bedanya pikiran-pikiran cari gampang itu dengan cara pikir Nasrudin Hoja dan Kebayan tadi? Nasrudin yang sufi dan Kebayan yang waskita sebetulnya berpikir sederhana sambil memahami kerumitan masalah. Mereka itu berpikir sederhana bukan karena tak ingin pusing, tapi justru karena mampu melihat kerumitan masalah itu dengan terang benderang. Kemudian, mereka mampu merumuskan kerumitan itu dengan sederhana. Mereka mampu memberi solusi yang paling mudah dan jitu, bukan sekadar cari jalan pintas. Bukan juga sekadar mengikuti hawa nafsu, atau mengumbar angkara.

Artinya, ternyata, berpikir sederhana itu butuh latihan dan disiplin juga. Disiplin untuk menjernihkan pikiran, dan hati.***

Sumber: klik sumber


No comments:

Post a Comment