ABUNAWAS mendapat tugas dari Sinar Harapan untuk mengisi kolom Celah-celah Ibukota. Karena raja sudah tiada maka ia tidak lagi punya kedudukan di istana sebagai penasihat dan juru bicara. Beruntung dia bisa menjadi kolumnis C-C-I-K.
Seperti diketahui, Abunawas adalah lelaki banyak akal. Orang bilang, ia berakal bulus, tetapi sebenarnya tidak. Ia orang baik. Ia selalu keluar dari kesulitan melalui etika situasi. Walaupun demikian, dia selalu dikerjain.
Ceritanya begini. Begitu diberi tugas sebagai kolumnis CCIK, ia menerima uang tugas. Ia jadi pusing memegang uang cukup banyak di masa krisis ini. Untuk menghilangkan gejala psikologis yang aneh ini ia mampir ke Sarinah. Jam menunjukkan pukul enam. Restoran-bar di samping gedung sudah dibuka. Ia duduk di kursi tinggi menghadap bar tender, memesan segelas besar bir dingin. Begitu meneguk, tubuhnya jadi dingin-dingin segar. Tiba-tiba ia ingat, anak gadis tetangganya sering main ke bar itu. Pernah sang ibu nangis-nangis di rumah Abunawas karena anaknya kena obat. Padahal anak itu baru duduk di kelas dua SMP. Ia drop out lalu bekerja di restoran Korea tetapi sehabis tugas sering ke bar, minum-minum dan ngeboat.
“Hei, Donna sering ke sini?” tanya Abunawas kepada bar tender.
“Sudah lama tidak ke sini, Oom,” jawab bar tender.
“Kemana, ya anak itu?”
“Dengar-dengar sudah ke Texas.”
“Wah!”
“Nasib orang, Oom. Ketemu pemuda bule di sini, lalu menikah dan terbang ke Texas.”
“Syukurlah. Semoga bahagia, anak itu,” kata Abu. “Banyak sudah anak perempuan kita kawin dengan orang asing.”
Tiba-tiba muncul seorang jelita duduk di sampingnya, memesan bir dingin.
“Maaf, Oom, ginjal saya tidak tahan minum obat. Kayaknya ginjal ini pabrik batu. Batu ginjal. Saya minum bir untuk melancarkan air seni agar tidak jadi batu. Maaf, Oom, saya minum dulu. Tadi saya minum obat. Terlambat sedikit, jadi batulah. Kencingnya susah banget. Maaf, Oom. Saya lama tinggal di Amerika dan Eropa, ikut orang tua, besar di sana, selalu minum bir dan anggur. Maaf, ya, Oom. Di luar negeri bir adalah minuman biasa, seperti minuman ringan lainnya. Bukan liquer. Maaf, ya, Oom.”
“Saya memberimu maaf, mari, toast.”
Setelah gelas berdenting bersulang, keduanya meneguk. Guk, guk, guk, guk, guk, habislah bir di gelas besar itu.
Wajah Sri, gadis itu, berseri-seri.
“Tambah satu,” kata Sri.
Abunawas juga minta tambah.
Setelah keduanya minum masing-masing dua gelas, Sri berdiri, menyabet tasnya dan berkata, “Bayar, ya, Oom. Sri pergi dulu. Soalnya Oom ini orang alim. Tidak pernah check in.”
Cewek peminum bir itu mendekati beberapa pria ganteng dan mencium mereka satu demi satu, ia bergabung dengan mereka yang sedang makan besar di sebuah meja bundar.
Semuanya berceloteh dalam bahasa Inggris, ketawa ngakak-ngakak. Sri dan beberapa wanita muda Indonesia benar-benar diplomat sejati.
Abunawas senang melihat yang demikian itu walaupun ia hanya kebagian sunyi di restoran bar yang ramai itu.
Tiba-tiba Donna muncul, bergabung di meja bundar itu. Abunawas tidak mau mengganggu orang berpesta. Ia hanya berkata, “Sialan, gue dikerjain bartender.” Setelah beberapa ke toilet, ia keluar.
Dengan sebuah taksi ia menuju Jatinegara, turun persis di depan stasiun. Berjalan kaki sebentar, ia sampai di depan seorang tukang jahit yang sedang vermak celana levis dengan mesin jahit tangan.
Dengan cepat ia ingin memotong ujung celana levisnya yang selalu digulung. Karena ia tidak biasa memakai celana dalam, ia beli handuk ke pedagang kakilima.
Menunggu ujung celana dipotong, tiba-tiba seorang gadis kecil berkulit kuning mendekatinya.
“Oom, kalau celananya selesai dipermak, handuknya buat kita, ya. Eti punya handuk tetapi sudah kumal. Malu ah, kalau piknik sekolah pakai handuk kumal. Eti sekolah di SMA Oom. Jadi anak jalanan begini, hanya untuk bayar uang sekolah. Maklum anak yatim piatu.”
Celana levisnya dipakai kembali dan handuknya diserahkan kepada gadis SMA itu. Gadis itu meloncat-loncat kegirangan meninggalkan Abu Nawas.
“Mending handuk itu buat saya, Oom. Kok dikasi ke pelacur jalanan. Dia bukan pelajar, Oom. Dia selalu mangkal di diskotek Ciliwung Indah sebelum temboknya dibobol oleh massa anti maksiat.”
Abunawas geleng-geleng kepala, berjalan kaki menuju tukang pijat di emperan toko yang terletak di gang sempit. Ada nenek-nenek tukang pijat yang sedang tidur di atas tikar berbantalkan balok pendek. Melihat Abunawas memperhatikannya, ia berkata, “Pijat, Oom.”
Karena pegal berjalan kaki, Abunawas menggeletakkan tubuhnya ke tikar lalu dipijat.
“Saya sering memijat turis asing di hotel. Apa artinya, ‘saya ingin membeli makanan sehat, saya mau membeli apa saja,’ Oom?”.
ìI want to buy healthy food, I want to buy everything,” kata Abunawas.
Tangan memijat, mulut perempuan tua itu mengulangi kalimat itu. Namun ia mudah lupa sehingga selalu salah ucapannya. Abunawas memperbaiki ucapan perempuan itu. Ketika mulutnya sibuk dengan bahasa Inggris, tangannya diam. Abunawas sibuk memperbaiki ucapannya sampai jam pijat selesai.
Abunawas tidak menyadari bahwa tangan perempuan tua itu menderita rematik berat, sehingga harus memakai akal bulus belajar bahasa Inggris. Dia betul-betul dikerjain, oleh perempuan muda dan tua encokan. (*)
No comments:
Post a Comment