Seorang pejabat di sebuah kantor, sehabis salat zuhur mengajak salah seorang karyawannya berbicara empat mata di ruangan kepala yg agak luas dan sepi itu. Oleh karyawan yg berada diperingkat bawah itu, hal seperti itu dianggap kejadian tidak seperti biasanya. Sebelum percakapan dimulai, karyawan yang sudah hampir pensiun itu terheran-heran. "Apa gerangan yang hendak diutarakan atasanku ini?" pikirnya.
"Pak!" ujar pejabat itu memulai percakapan, "Aaya ini mendapat gaji cukup besar. Selain itu masih mendapat tunjangan macam-macam. Selain itu masih berbuat ini dan itu."
"Ini dan itu yang bagaimana, Pak?" tanya karyawan tua itu.
"Terus terang, secara jujur saya akui, sesekali saya mendapatkan uang gelap."
"Uang gelap bagaimana, Pak?" tanya karyawan tua itu lugu.
"Terus terang, uang hasil korupsilah. Tetapi sampai sekarang saya belum merasa mendapat apa-apa. Rumah yg saya tempati sekeluarga itu rumah cicilan dan sampai sekarang belum lunas. Anak-anak saya yang dua itu gugur kuliah sebelum mendapat titel sarjana. Sedangkan sampeyan yang gajinya sangat kecil, tidak melakukan ini itu seperti saya, hidupnya tampak sangat bahagia. Anak sampeyan yang pertama lulus perguruan tinggi dengan nilai cemerlang langsung diangkat jadi dosen. Dalam hal keluarga saya merasa kalah bersaing dengan sampeyan."
"Saya tidak merasa bersaing dengan Bapak. Sungguh. Saya hanya menjalankan hidup ini dengan kemampuan yg saya miliki."
"Nah, itulah keberuntungan sampeyan. Sekarang saya ingin bertanya, bagaimana caranya sampeyan mengatur hidup ini?"
"Saya tak pernah merasa mengatur hidup ini. Saya hanya berikhtiar. Lalu saya merasa senang kalau diri ini mau diatur oleh Allah."
Sumber: Sate Madura
Ditulis kembali: Syaefrudin_78@yahoo.com
No comments:
Post a Comment