Sejak listrik masuk kampung kecil yg jauh di pelosok itu, tiap malam kampung itu menjadi terang benderang. Anak-anak pulang dari surau tak perlu memakai obor yg dipuat dari daun kelapa kering seperti dulu-dulunya. Semua penduduk di kampung itu merasa gemnira dan menikmati rahmat Tuhan yang bernama listrik itu.
Berbeda dengan Pak Sakuri yang tua dan hidup sendiri di rumah bambunya yang kecil. Istrinya sudah meninggal sedangkan dua orang anaknya sudah kawin berada di desa lain. Pak Sakuri tiba-tiba memindahkan rumah bambunya ke kaki sebuah bukit tak jauh dari kampung itu. Di kaki bukit itulah Pak Sakuri seperti menemukan pernik-pernik kebahagiaan hidup, tidak gelisah seperti ketika berada di kampung yang berlistrik itu.
Orang-orang menjadi heran terhadap ulah Pak Sakuri. Mereka mempercakapkannya di mana-mana, di serambi mesjid, di warung, dan tempat-tempat lainnya. Seorang keponakannya ada yang terpaksa mengunjunginya ke kaki bukit dan menanyakan "Mengapa Paman pindah?" "Sejak kampung kita terang benderang, aku menjadi tidak bisa menikmati indahnya kedip bintang dan indahnya bulan purnama. Lalu aku merasa sangat kehilangan."
"Kehilangan apa, Paman?" "Aku merasa kehilangan suasana hati."
"Tapi saya tidak merasakan itu." ujar keponakannya.
"Kamu termasuk orang yang beruntung. Berarti kamu termasuk manusia baru. Sementara, biarkan saja aku menjadi masa lalu!"
Sang keponakan hanya mengangguk-angguk, ia berada antara mengerti dengan tidak. "Yang penting," kata Pak Sakuri,"antara kamu dengan aku tidak terjadi saling mengejek dan saling menyalahkan. Dalam saling mengejek, akan ada kehilangan yang lebih besar lagi dari suasana hati."
Sumber: Sate Madura
Ditulis kembali: Syaefrudin_78@yahoo.com
No comments:
Post a Comment